ETIKA BERBICARA MENURUT ISLAM
Ada banyak etika, adab dan sopan santun dalam berbicara yang
diketahui dan dianut oleh masyarakat. Salah satu acuan yang dapat kita pedomani
adalah adab berbicara di Minang Kabau Sumatera Barat yang dikenal dengan “Kato
nan Ampek” yaitu adab berbicara dibedakan atas empat (ampek)
jenis audience atau lawan komunikasi kita, sebagai berikut:
1. Kato Mandaki,
Kata dan adab yang digunakan bila kita berkomunikasi dengan orang yang
lebih tua atau dituakan dan lebih dihormati karena jabatan dan kedudukannya.
2. Kato Mandata,
Kata dan adab yang digunakan bila kita berkomunikasi dengan teman sebaya
atau rekan kerja.
3. Kato Malereng,
Kata dan adab yang digunakan bila kita berkomunikasi dengan orang yang
memiliki hubungan kekerabatan dengan kita dan keluarga seperti ipar, besan,
sumando, mamak rumah.
4. Kato Manurun,
Kata dan adab yang digunakan bila kita berkomunikasi dengan orang yang
lebih muda ataupun kepada bawahan.
Dalam islam bisa dikatakan bahwa etika bicara itu merupakan
menjaga lisan dalam mengkomunikasikan sesuatu, karena setiap kata-kata yang
diucapkan kita bisa mendapat pahala apabila perkataan itu baik. Ajaran Islam
amat sangat serius memperhatikan soal menjaga lisan sehingga Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"Barangsiapa yang memberi jaminan kepadaku (untuk menjaga)
apa yang ada antara dua janggutnya (lisan) dan apa yang ada antara dua kakinya
(kema-luannya) maka aku menjamin Surga untuknya." (HR. Al-Bukhari).
Hendaknya pembicaran selalu di dalam kebaikan. Seperti dalam Al-Qur’an, Allah
berfirman yang artinya:
"Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan mereka, kecuali
bisik-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat
ma`ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia".(An-Nisa: 114).
Hendaknya pembicaran dengan suara yang dapat didengar, tidak terlalu
keras dan tidak pula terlalu rendah, ungkapannya jelas dapat difahami oleh
semua orang dan tidak dibuat-buat atau dipaksa-paksakan.
A.
Menjaga Lisan
Seorang muslim wajib menjaga lisannya, tidak boleh berbicara
batil, dusta, menggunjing, mengadu domba dan melontarkan ucapan-ucapan kotor,
ringkasnya, dari apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Sebab kata-kata yang
merupakan produk lisan memiliki dampak yang luar biasa.
Perang, pertikaian antarnegara atau perseorangan sering terjadi
karena perkataan dan provokasi kata. Sebaliknya, ilmu pengetahuan lahir, tumbuh
dan berkembang melalui kata-kata. Perdamaian bahkan persaudaraan bisa terjalin
melalui kata-kata. Ironinya, banyak orang yang tidak menyadari dampak luar
biasa dari kata-kata. Padahal Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"Sungguh seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat
yang membawa keridhaan Allah, dan dia tidak menyadarinya, tetapi Allah
mengangkat dengannya beberapa derajat. Dan sungguh seorang hamba berbicara dengan
suatu kalimat yang membawa kemurkaan Allah, dan dia tidak mempedulikannya,
tetapi ia menjerumuskan-nya ke Neraka Jahannam" (HR. Bukhari)
Hadis Hasan riwayat Imam Ahmad menyebutkan, bahwa semua
anggota badan tunduk kepada lisan. Jika lisannya lurus maka anggota badan
semuanya lurus, demikian pun sebaliknya. Ath-Thayyibi berkata, lisan adalah
penerjemah hati dan penggantinya secara lahiriyah. Karena itu, hadits Imam
Ahmad di atas tidak bertentangan dengan sabda Nabi yang lain:
"Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad terdapat
segumpal darah, jika ia baik maka baiklah seluruh jasad, dan bila rusak, maka
rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, ia adalah hati." (HR. Al-Bukhari
dan Muslim).
B.
Berkata Baik Atau Diam
Adab Nabawi dalam berbicara adalah berhati-hati dan
memikirkan terlebih dahulu sebelum berkata-kata. Setelah direnungkan bahwa
kata-kata itu baik, maka hendaknya ia mengatakannya. Sebaliknya, bila kata-kata
yang ingin diucapkannya jelek, maka hendaknya ia menahan diri dan lebih baik
diam. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir,
maka hendaknya ia berkata yang baik atau diam." (HR. Al-Bukhari).
“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: " Hendaklah
mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu
menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh
yang nyata bagi manusia.”
Adab Nabawi di atas tidak lepas dari prinsip kehidupan seorang
muslim yang harus produktif menangguk pahala dan kebaikan sepanjang hidupnya.
Menjadikan semua gerak diamnya sebagai ibadah dan sedekah. Nabi Shallallaahu
alaihi wa Salam bersabda:
"… Dan kalimat yang baik adalah sedekah. Dan setiap
langkah yang ia langkahkan untuk shalat (berjamaah di masjid)adalah sedekah,
dan menyingkirkan duri dari jalan adalah sedekah."(HR.Al-Bukhari).
Dalam ayat Al-Qur’an dijelaskan bahwa perkataan atau ucapan
yang baik itu terpuji dan juga merupakan amal ibadah, karena akan mendapatkan
pahala. Namun apabila sebaliknya maka kehancuran yang akan didapatkan.
“Dan mereka diberi petunjuk
kepada ucapan-ucapan yang baik dan ditunjuki (pula) kepada jalan (Allah) yang
terpuji.”
“Barang siapa yang menghendaki
kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nya lah naik
perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan
orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan
rencana jahat mereka akan hancur.”
C.
Sedikit Bicara Lebih Utama
Orang yang senang berbicara lama-lama akan sulit
mengendalikan diri dari kesalahan. Kata-kata yang meluncur bak air mengalir
akan menghanyutkan apa saja yang diterjangnya, dengan tak terasa akan
meluncurkan kata-kata yang baik dan yang buruk. Ka-rena itu Nabi Shallallaahu
alaihi wa Salam melarang kita banyak bicara. Beliau Shallallaahu alaihi wa
Salam bersabda artinya,
"…Dan (Allah) membenci kalian untuk qiila wa
qaala." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, qiila wa qaala adalah asyik
membicarakan berbagai berita tentang seluk beluk seseorang (ngerumpi). Bahkan
dalam hadits hasan gharib riwayat Tirmidzi disebutkan, orang yang banyak bicara
diancam oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam sebagai orang yang paling
beliau murkai dan paling jauh tempatnya dari Rasulullah pada hari Kiamat. Abu
Hurairah Radhiallaahu’anhu berkata,
'Tidak ada baiknya orang yang banyak bicara.' Umar bin
Khathab Radhiallaahu anhu berkata, 'Barangsiapa yang banyak bicaranya, akan
banyak kesalahannya.'
Tenang dalam berbicara dan tidak tergesa-gesa. Seperti halnya dalam nasehat
menasehati pada seseorang dengan mengatur nada bicara dan menghjhidari pokok
pembicaraan yang dapat menyinggung perasaan orang lain. Aisyah Radhiallaahu
'anha telah menuturkan: "Sesungguhnya Nabi apabila membicarakan suatu
pembicaraan, sekiranya ada orang yang menghitungnya, niscaya ia dapat
menghitungnya".(Mutta-faq'alaih).
D.
Dilarang Membicarakan Setiap Yang Didengar
Dunia kata di tengah umat manusia adalah dunia yang campur
aduk. Seperti manusianya sendiri yang beragam dan campur aduk; shalih, fasik,
munafik, musyrik dan kafir. Karena itu, kata-kata umat manusia tentu ada yang
benar, yang dusta; ada yang baik dan ada yang buruk. Karena itu, ada kaidah
dalam Islam soal kata-kata, 'Siapa yang membicarakan setiap apa yang
didengarnya, berarti ia adalah pembicara yang dusta'. Hal ini sesuai dengan
hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam :
"Cukuplah seseorang itu berdosa, jika ia membicarakan
setiap apa yang di-dengarnya."
Dalam riwayat lain disebutkan:
Dalam riwayat lain disebutkan:
"Cukuplah seseorang itu telah berdusta, jika ia
membicarakan setiap apa yang didengarnya."(HR.Muslim).
Adakalanya kita mendengarkan apa yang dibicarakan seseorang
kepada kita, tapi alangkah baiknya jika kita hanya sebagai pendengar baik saja.
Ada pula seseorang yang menceritakan rahasia mereka, dan sering pula kita
menceritakan rahasia kita pada orang lain. Tapi alangkah baiknya jika kita
menceritakan pada orang yang tepat dan bisa dipercaya. Dalam al-Qur’an
menerangkan bahwa jika memang pembicaraan itu tidak bermanfaat lebih baik
hindarilah.
Al-Qur’an
Surat Al- Qashas Ayat 55 :
“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak
bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi kami
amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak
ingin bergaul dengan orang-orang jahil".
Al-Qur’an
Az-Zumar Ayat 18 :
“yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang
paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah
petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”
Bisa dikatakan jika kita membicarakan sesuatu yang telah kita dengar tapi
kita tidak tahu akan kebenarannya maka sama halnya dengan Ghibah atau
menggunjing, yang bisa mengakibatkan perseteruan. Maka haruslah menghindari
perbuatan menggunjing (ghibah) dan mengadu domba. Allah berfirman yang artinya:
"Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang
lain".(Al-Hujurat: 12).
Mendengarkan pembicaraan orang lain dengan baik dan tidak
memotongnya, juga tidak menampakkan bahwa kamu mengetahui apa yang
dibicarakannya, tidak menganggap rendah pendapatnya atau mendustakannya. Jangan
memonopoli dalam berbicara, tetapi berikanlah kesempatan kepada orang lain
untuk berbicara. Menghindari perkataan kasar, keras dan ucapan yang menyakitkan
perasaan dan tidak mencari-cari kesalahan pembicaraan orang lain dan
kekeliruannya, karena hal tersebut dapat mengundang kebencian, permusuhan dan
pertentangan.
E.
Jangan Mengutuk dan Berbicara Kotor
Mengutuk dan sumpah serapah dalam kehidupan modern yang serba
materialistis sekarang ini seperti menjadi hal yang dianggap biasa. Seorang
yang sempurna akhlaknya adalah orang yang paling jauh dari kata-kata kotor,
kutukan, sumpah serapah dan kata-kata keji lainnya. Ibnu Mas'ud Radhiallaahu
anhu meriwayatkan, Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"Seorang mukmin itu bukanlah seorang yang tha'an,
pelaknat, (juga bukan) yang berkata keji dan kotor."(HR.Bukhari).
Tha'an adalah orang yang suka-merendahkan kehormatan manusia,
dengan mencaci, menggunjing dan sebagainya.Melaknat atau mengutuk adalah do’a
agar seseorang dijauhkan dari rahmat Allah. Imam Nawawi rahima-hullah berkata,
'Mendo’akan agar seseorang dijauhkan dari rahmat Allah bukanlah akhlak
orang-orang beriman. Sebab Allah menyifati mereka dengan rahmat (kasih sayang)
di antara mereka dan saling tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Seperti
tertulis dalam ayat Al-Qur’an Surat An-Nisa Ayat 148 : “ Allah tidak
menyukai ucapan buruk diucapkan langsung dengan terus terang kecuali oleh
orang-orang yang di aniaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Menghindari sikap mengejek, memperolok-olok dan memandang rendah orang
yang berbicara. Allah berfirman yang artinya: "Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain (karena) boleh
jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokan),
dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokan) wanita-wanita lain (karena)
boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik dari wanita (yang
mengolok-olokan)". (Al-Hujurat: 11).
Mereka dijadikan Allah sebagai orang-orang yang seperti
bangunan, satu sama lain saling menguatkan, juga diumpamakan sebagaimana satu
tubuh. Seorang mukmin adalah orang yang mencintai saudara mukminnya yang lain
sebagai-mana ia mencintai dirinya sendiri. Maka, jika ada orang yang mendo’akan
saudara muslimnya dengan laknat (dijauhkan dari rahmat Allah), itu berarti
pemutusan hubungan secara total. Padahal laknat adalah puncak doa seorang
mukmin terhadap orang kafir. Karena itu disebutkan dalam hadits shahih:
"Melaknat seorang mukmin adalah sama dengan
membunuhnya." (HR. Bukhari).
Sebab seorang pembunuh memutuskan orang yang dibunuhnya dari
berbagai manfaat duniawi. Sedangkan orang yang melaknat memutuskan orang yang
dilaknatnya dari rahmat Allah dan kenikmatan akhirat.
F.
Jangan Senang Berdebat Meski Benar
Saat ini, di alam yang katanya demokrasi, perdebatan menjadi
hal yang lumrah bahkan malah digalakkan. Ada debat calon presiden, debat calon
gubernur dan seterusnya. Pada kasus-kasus tertentu, menjelaskan argumentasi
untuk menerangkan kebenaran yang berdasarkan ilmu dan keyakinan memang
diperlukan dan berguna.
Tetapi, berdebat yang didasari ketidak-tahuan, ramalan,
masalah ghaib atau dalam hal yang tidak berguna seperti tentang jumlah Ashhabul
Kahfi atau yang sejenisnya maka hal itu hanya membuang-buang waktu dan berpengaruh
pada retaknya persaudaraan.
Maka, jangan sampai seorang mukmin hobi berdebat. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"Saya adalah penjamin di rumah yang ada di sekeliling
Surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan, meski dia benar. Dan di
tengah-tengah Surga bagi orang yang meninggalkan dusta, meskipun dia bergurau.
Juga di Surga yang tertinggi bagi orang yang baik akhlaknya."(HR.AbuDaud,dihasankanolehAl-Albani).
G.
Dilarang Berdusta Untuk Membuat Orang Tertawa
Dunia hiburan (entertainment) menjadi dunia yang digandrungi
oleh sebagian besar umat manusia. Salah satu jenis hiburan yang digandrungi
orang untuk menghilangkan stress dan beban hidup yang berat adalah lawak.
Dengan suguhan lawak ini orang menjadi tertawa terbahak-bahak, padahal di
dalamnya campur baur antara kebenaran dan kedustaan, seperti memaksa diri
dengan mengarang cerita bohong agar orang tertawa. Mereka inilah yang mendapat
ancaman melalui lisan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dengan sabda
beliau:
"Celakalah orang yang berbicara lalu berdusta untuk membuat orang-orang tertawa. Celakalah dia, dan celakalah dia!" (HR. Abu Daud, dihasankan oleh Al-Albani).
"Celakalah orang yang berbicara lalu berdusta untuk membuat orang-orang tertawa. Celakalah dia, dan celakalah dia!" (HR. Abu Daud, dihasankan oleh Al-Albani).
Menghindari perdebatan dan saling membantah, sekali-pun kamu berada di pihak
yang benar dan menjauhi perkataan dusta sekalipun bercanda. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Aku adalah penjamin sebuah istana di
taman surga bagi siapa saja yang menghindari bertikaian (perdebatan) sekalipun
ia benar; dan (penjamin) istana di tengah-tengah surga bagi siapa saja yang
meninggalkan dusta sekalipun bercanda”. (HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh
Al-Albani).
H.
Merendahkan Suara Ketika Berbicara
Meninggikan suaranya, berteriak dan membentak. Dalam
pergaulan sosial, tentu orang yang semacam ini sangat dibenci. Bila sebagai
pemimpin, maka dia adalah pemimpin yang ditakuti oleh bawahannya. Bukan karena
kewibawaan dan keteladanannya, tapi karena suaranya yang menakutkan. Bila
sebagai bawahan, maka dia adalah orang yang tak tahu diri.
“Sesungguhnya orang-orang yang
merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah
diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala
yang besar.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan, 'Orang yang
meninggikan suaranya terhadap orang lain, maka tentu semua orang yang berakal
menge-tahui, bahwa orang tersebut bukanlah orang yang terhormat.' Ibnu Zaid
berkata, 'Seandainya mengeraskan suara (dalam berbicara), adalah hal yang baik,
tentu Allah tidak menjadikannya sebagai suara keledai.' Abdurrahman As-Sa'di
berkata, 'Tidak diragukan lagi, bahwa (orang yang) meninggikan suara kepada
orang lain adalah orang yang tidak beradab dan tidak menghormati orang lain.'
Karena itulah termasuk adab berbicara dalam Islam adalah
merendahkan suara ketika berbicara. Allah berfirman, artinya:
"Dan rendahkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk
suara adalah suara keledai."(QS.Luqman:19).
Bagi wanita sangat beresiko sekali apabila merendahkan suara
dengan tunduk, karena dalam ayat Al-Qur’an Surat Al Ahzab, kata
tunduk tersebut ialah berbicara dengan sikap menimbulkan seseorang akan
bertindak atau berperilaku tidak baik. Seperti tertulis dalm Surat Al-Ahzab Ayat 32
yang artinya:
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti
wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam
berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
ucapkanlah perkataan yang baik,”
Selain adab dan pemilihan kata dalam berkomunikasi,
perhatikan juga materi atau isi pembicaraan kita. Pembicaraan yang
dikhawatirkan dapat menjerumuskan kita pada pembicaraan yang berpotensi dosa.